PELANGGARAN
ETIKA PROFESI
DALAM
PERUSAHAAN
(KASUS
PAJAK BCA)
Dosen : Diah Aryati Prihartini
Kelas : 4EB24
Nama Anggota :
Agnestasia 20211323
Asti Nur Damayanti 21211270
Erni Rismayana 22211475
Fandy Pratama 22211680
Rifa’atul Makhmuda 29211006
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN AKUNTANSI
FAKULTAS
EKONOMI
UNIVERSITAS
GUNADARMA
2014
Pengertian Etika, Profesi, Etika Profesi dan Kode Etik
Profesi
Etika berasal dari bahasa Yunani kuno
yaitu “Ethikos” yang berati timbul dari kebiasaan, adalah cabang utama dari
filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai
standar dan penilaian moral. Etika mencakup analisis dan penerapan konsep
seperti benar, salah, baik, buruk dan tanggung jawab.
Berikut
ini merupakan dua sifat etika, yaitu :
1. Non-empirisFilsafat digolongkan
sebagai ilmu non empiris. Ilmu empiris adalah ilmu yang didasarkan pada fakta
atau yang kongkret. Namun filsafat tidaklah demikian, filsafat berusaha
melampaui yang kongkret dengan seolah-olah menanyakan apa di balik gejala-gejala
kongkret. Demikian pula dengan etika. Etika tidak hanya berhenti pada apa yang
kongkret yang secara faktual dilakukan, tetapi bertanya tentang apa yang
seharusnya dilakukan atau tidak boleh dilakukan.
2. Praktis Cabang-cabang filsafat
berbicara mengenai sesuatu “yang ada”. Misalnya filsafat hukum mempelajari apa
itu hukum. Akan tetapi etika tidak terbatas pada itu, melainkan bertanya
tentang “apa yang harus dilakukan”. Dengan demikian etika sebagai cabang
filsafat bersifat praktis karena langsung berhubungan dengan apa yang boleh dan
tidak boleh dilakukan manusia. Tetapi ingat bahwa etika bukan praktis dalam
arti menyajikan resep-resep siap pakai. Etika tidak bersifat teknis melainkan
reflektif. Maksudnya etika hanya menganalisis tema-tema pokok seperti hati
nurani, kebebasan, hak dan kewajiban, dan sebagainya, sambil melihat
teori-teori etika masa lalu untuk menyelidiki kekuatan dan kelemahannya.
Diharapakan kita mampu menyusun sendiri argumentasi yang tahan uji.
Perbedaan antara Etika dengan Etiket
yaitu, Etika menyangkut cara dilakukannya suatu perbuatan sekaligus memberi
norma dari perbuatan itu sendiri. Contohnya : Dilarang mengambil barang milik
orang lain tanpa izin karena mengambil barang milik orang lain tanpa izin sama
artinya dengan mencuri. “Jangan mencuri” merupakan suatu norma etika. Di sini
tidak dipersoalkan apakah pencuri tersebut mencuri dengan tangan kanan atau
tangan kiri. Sedangkan Etiket hanya berlaku dalam situasi dimana kita tidak
seorang diri (ada orang lain di sekitar kita). Bila tidak ada orang lain di
sekitar kita atau tidak ada saksi mata, maka etiket tidak berlaku. Contohnya :
Saya sedang makan bersama bersama teman sambil meletakkan kaki saya di atas
meja makan, maka saya dianggap melanggat etiket. Tetapi kalau saya sedang makan
sendirian (tidak ada orang lain), maka saya tidak melanggar etiket jika saya
makan dengan cara demikian.
Pengertian Profesi
Profesi adalah suatu pekerjaan yang
melaksanakan tugasnya memerlukan atau menuntut keahlian (expertise),
menggunakan teknik-teknik ilmiah, serta dedikasi yang tinggi. Keahlian yang
diperoleh dari lembaga pendidikan khusus diperuntukkan untuk itu dengan
kurikulum yang dapat dipertanggung jawabkan. Seseorang yang menekuni suatu
profesi tertentu disebut professional, sedangkan professional sendiri mempunyai
makna yang mengacu kepada sebutan orang yang menyandang suatu profesi dan
sebutan tentang penampilan seseorang dalam mewujudkan unjuk kerja sesuai dengn
profesinya.
Berikut
ini merupakan ciri-ciri dari profesi, yaitu :
·
Keterampilan
yang berdasar pada pengetahuan teoretis
Seorang professional harus memiliki
pengetahuan teoretis dan keterampilan
mengenai bidang teknik yang ditekuni dan bisa diterapkan dalam pelaksanaanya
atau prakteknya dalam kehidupan sehari-hari.
·
Asosiasi
Profesional
Merupakan suatu badan organisasi yang
biasanya diorganisasikan oleh anggota profesi yang bertujuan untuk meningkatkan
status para anggotanya.
·
Pendidikan
yang Ekstensi
Profesi yang prestisius biasanya
memerlukan pendidikan yang lama dalam jenjang pendidikan tinggi. Seorang
professional dalam bidang teknik mempunyai latar belakang pendidikan yang
tinggi baik itu dalam suatu pendidikan formal ataupun non formal.
·
Ujian
Kompetisi
Sebelum memasuki organisasi
profesional, biasanya ada persyaratan untuk lulus dari suatu tes yang menguji
terutama pengetahuan teoretis.
·
Pelatihan
institutional
Selain ujian, juga biasanya
dipersyaratkan untuk mengikuti pelatihan istitusional dimana calon profesional
mendapatkan pengalaman praktis sebelum menjadi anggota penuh organisasi.
Peningkatan keterampilan melalui pengembangan profesional juga dipersyaratkan.
·
Lisensi
Profesi menetapkan syarat pendaftaran
dan proses sertifikasi sehingga hanya mereka yang memiliki lisensi bisa
dianggap bisa dipercaya.
·
Otonomi
kerja
Profesional cenderung mengendalikan
kerja dan pengetahuan teoretis mereka agar terhindar adanya intervensi dari
luar.
·
Kode etik
Organisasi profesi biasanya memiliki
kode etik bagi para anggotanya dan prosedur pendisiplinan bagi mereka yang
melanggar aturan.
·
Mengatur
diri
Organisasi profesi harus bisa mengatur
organisasinya sendiri tanpa campur tangan pemerintah. Profesional diatur oleh
mereka yang lebih senior, praktisi yang dihormati, atau mereka yang
berkualifikasi paling tinggi.
·
Layanan
publik dan altruism
Diperolehnya penghasilan dari kerja
profesinya dapat dipertahankan selama berkaitan dengan kebutuhan publik,
seperti layanan dokter berkontribusi terhadap kesehatan masyarakat.
·
Status dan
imbalan yang tinggi
Profesi yang paling sukses akan meraih
status yang tinggi, prestise, dan imbalan yang layak bagi para anggotanya. Hal
tersebut bisa dianggap sebagai pengakuan terhadap layanan yang mereka berikan
bagi masyarakat.
Pengertian Etika Profesi
Etika profesi menurut keiser dalam (
Suhrawardi Lubis, 1994:6-7 ) adalah sikap hidup berupa keadilan untuk
memberikan pelayanan professional terhadap masyarakat dengan penuh ketertiban
dan keahlian sebagai pelayanan dalam rangka melaksanakan tugas berupa kewajiban
terhadap masyarakat.
Kode etik profesi adalah system norma,
nilai dan aturan professional tertulis yang secara tegas menyatakan apa yang
benar dan baik, dan apa yang tidak benar dan tidak baik bagi professional. Kode
etik menyatakan perbuatan apa yang benar atau salah, perbuatan apa yang harus
dilakukan dan apa yang harus dihindari. Tujuan kode etik yaitu agar
professional memberikan jasa
sebaik-baiknya kepada pemakai atau nasabahnya. Dengan adanya kode etik akan
melindungi perbuatan yang tidak professional.
Tiga
Fungsi dari Kode Etik Profesi :
a) Kode etik profesi memberikan pedoman
bagi setiap anggota profesi tentang
prinsip profesionalitas yang digariskan
b) Kode etik profesi merupakan sarana
kontrol sosial bagi masyarakat atas
profesi yang bersangkutan
c) Kode etik profesi mencegah campur
tangan pihak diluar organisasi profesi tentang
hubungan etika dalam keanggotaan profesi
Ini Detail Kasus Dugaan Korupsi Pajak yang Menjerat Hadi Poernomo
(Artikel 1)
Komisi
Pemberantasan Korupsi menetapkan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi
Poernomo sebagai tersangka kasus dugaan korupsi terkait pembayaran pajak PT
Bank Centra Asia (BCA). Ketua KPK Abraham Samad mengungkapkan, Hadi diduga
melakukan perbuatan melawan hukum dan atau penyalahgunaan wewenang dalam
kapasitas dia sebagai Direktur Jenderal Pajak 2002-2004.
Menurut
Abraham, kasus ini berawal ketika BCA mengajukan keberatan pajak atas
transaksi non performance loan (kredit bermasalah) sekitar
17 Juli 2003. Nilai transaksi bermasalah PT Bank BCA ketika itu sekitar Rp 5,7
triliun.
"BCA
Tbk dalam hal ini mengajukan keberatan pajak atas transaksi non
performance loan sebesar Rp 5,7 triliun kepada Direktorat PPh (Pajak
Penghasilan). Kemudian, setelah surat itu diterima PPh, maka dilakukan
pengkajian lebih dalam untuk bisa mengambil kesimpulan," kata Abraham di
Gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Senin (21/4/2014) malam.
Setelah
melakukan kajian selama hampir setahun, kata Abraham, pada 13 Maret 2004,
Direktorat PPh menerbitkan surat yang berisi hasil telaah mereka atas keberatan
pembayaran pajak yang diajukan PT Bank BCA. Surat tersebut berisi kesimpulan
PPh bahwa pengajuan keberatan pajak BCA harus ditolak.
"Direktur
PPh menyampaikan kepada Dirjen Pajak dalam kesimpulannya bahwa permohonan wajib
pajak BCA harus ditolak," ujar Abraham.
Namun,
pada 18 Juli 2004, Hadi selaku Dirjen Pajak ketika itu justru memerintahkan
Direktur PPh untuk mengubah kesimpulan. Melalui nota dinas tertanggal 18 Juli
2004, kata Abraham, Hadi diduga meminta Direktur PPh untuk mengubah
kesimpulannya sehingga keberatan pembayaran pajak yang diajukan PT Bank BCA diterima
seluruhnya.
"Dia
meminta Direktur PPh, selaku pejabat penelahaan, mengubah kesimpulan yang
semula dinyatakan menolak diubah menjadi menerima seluruh keberatan. Di situlah
peran Dirjen Pajak Saudara HP (Hadi)," tutur Abraham.
Pada
hari itu juga, Hadi diduga langsung mengeluarkan surat keputusan ketetapan
wajib pajak nihil yang isinya menerima seluruh keberatan BCA selaku wajib
pajak. Dengan demikian, tidak ada lagi waktu bagi Direktorat PPh untuk
memberikan tanggapan yang berbeda atas putusan Dirjen Pajak tersebut.
Selain
itu, menurut Abraham, Hadi diduga mengabaikan adanya fakta materi keberatan
yang diajukan bank lain yang memiliki permasalahan sama dengan BCA. Pengajuan
keberatan pajak yang diajukan bank lain tersebut ditolak. Namun, pengajuan yang
diajukan BCA diterima, padahal kedua bank itu memiliki permasalahan yang sama.
"Di
sinilah duduk persoalannya. Oleh karena itu, KPK menemukan fakta dan bukti yang
akurat dan berdasarkan itu. KPK adakan forum ekspos dengan satuan tugas
penyelidikan dan seluruh pimpinan KPK sepakat menetapkan HP selaku Dirjen Pajak
2002-2004 dan kawan-kawan sebagai tersangka," kata Abraham.
KPK
menjerat Hadi dengan Pasal 2 Ayat 1 dan atau Pasal 3 Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi junctoPasal
55 Ayat 1 ke-1 KUHP. Atas perbuatan Hadi ini, negara diduga mengalami kerugian
sekitar Rp 375 miliar.
Menurut
Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto, nilai kerugian negara ini adalah besaran
pajak yang tidak jadi dibayarkan BCA kepada negara. "Yang seharusnya
negara menerima Rp 375 miliar tidak jadi diterima dan itu menguntungkan pihak
lainnya, tidak selamanya harus menguntungkan si pembuat kebijakan," kata
Bambang.
Kronologis Kasus Pajak BCA
(Artikel
2)
Bulan
April lalu KPK menetapkan Hadi Purnomo (Mantan Dirjen Pajak) sebagai tersangka
kasus pajak BCA. Banyak
kalangan yang menilai bahwa kasus ini merupakan pintu gerbang untuk menyelidiki
kasus BLBI yang selama ini belum juga tuntas. Apakah KPK dapat menuntaskan
kasus ini? mari
kita simak kronologis kasus pajak BCA ini terlebih dahulu.
Hadi
Purnomo mendapat kado pahit dari Komisi Pemberantasan Korupsi. Tepat pada hari
ulang tahunnya yang ke-67, seusai acara pamitan pensiun sebagai Ketua Badan
Pemeriksa Keuangan, Hadi ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi pajak PT
Bank Central Asia (BCA).
Hadi
diduga menyalahgunakan wewenang saat menjabat Direktur Jenderal Pajak pada
2001-2006. Ia menerima permohonan keberatan pajak BCA sehingga bank tersebut
tidak membayar pajak yang mengakibatkan merugikan negara Rp 375 miliar.
Penggelapan
tersebut disinyalir memanfaatkan celah hukum dengan cara melakukan belanja di
luar kewajaran, seperti menaikkan tunjangan dan gaji karyawan, serta menyuap
oknum pejabat, sehingga jika hal tersebut dibuka, maka bisa menyasar BLBI.
Terlebih Antasari pernah menyelidiknya.
Atas
dasar itu, KPK harus membukanya dan mengusut dugaan keterlibatan pemilik BCA
saat itu, yang penyelidikan sudah mengarah kepada Sjamsul Nursalim dan Anthony
Salim. Hadi Poernomo menguntungkan BCA sebagai wajib pajak badan atau korporasi.
Keputusan
Hadi menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Nihil, menjandikan BCA tidak harus
membayar pajak dan modus ini merupakan bagian dari kejahatan perbankan yang
harus diungkap dan diselesaikan KPK karena merugikan keuangan negara.
Kasus
BCA merupakan fenomena gunung es, karena ditenggarai banyak kasus serupa yang
terjadi di sektor perbankan. Adapun potensi kerugian negara dari pajak
perbankan setiap tahunnya diperkirakan mencapai Rp 10-12 trilyun.
Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) didesak segera memeriksa petinggi Bank Central Asia
(BCA) dalam kasus dugaan korupsi keberatan pajak Bank BCA. Pasalnya, ada
beberapa pihak Bank BCA ikut meraup keuntungan dari kasus tersebut.
Lika Liku Pajak Bank
BCA
Dalam
kasus ini KPK telah menetapkan satus tersangka, yakni mantan Ketua BPK Hadi
Purnomo. Hadi diduga menyalahgunakan wewenangnya saat menjabat sebagai direktur
jenderal Pajak. Hadi dan kawan-kawan, kata Abraham, disangka melanggar Pasal 2
Ayat 1 dan atau Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto
Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. Penyertaan sangkaan menggunakan Pasal 55 KUHP juga
mempertegas dugaan Hadi tidak sendirian melakukan perbuatan tersebut.
Selaku
Direktur Jenderal Pajak periode 2002-2004, Hadi diduga melakukan penyalahgunaan
wewenang dan atau perbuatan melawan hukum terkait dengan pengajuan keberatan
pajak BCA. Kasus ini berawal ketika BCA mengajukan permohonan keberatan pajak
sekitar 2003. Atas keberatan pajak ini, Direktorat Pajak Penghasilan (PPh)
melakukan telaah yang hasilnya mengusulkan Dirjen Pajak untuk menolak
permohonan keberatan pajak BCA tersebut.
Namun,
Hadi Poernomo justru memutuskan sebaliknya. Dia memerintahkan Direktur PPh
untuk mengubah kesimpulan tersebut sehingga permohonan keberatan pajak BCA
dikabulkan. Keputusan yang mengabulkan permohonan pajak tersebut diterbitkan
Hadi sehari sebelum jatuh tempo bagi Ditjen Pajak untuk menyampaikan putusannya
atas permohonan BCA tersebut.
Karena
diputuskan satu hari sebelum jatuh tempo, Direktur PPh tidak memiliki cukup
waktu untuk menyampaikan tanggapannya atas putusan Hadi selaku Dirjen Pajak.
Padahal, menurut KPK, Hadi sedianya memberikan waktu kepada Direktur PPh,
selaku pihak penelaah, untuk menyampaikan tanggapannya. Atas perbuatan ini,
negara diduga mengalami kerugian sekitar Rp 375 miliar.
Lika-liku Pajak Bank
BCA
1998
BCA
rugi Rp 29 triliun akibat rush dan kredit macet. Pemerintah menyuntikkan dana
ke BCA dan mengambilmalih 92,8 persen sahamnya.
1999
Untuk
mengurangi angka kredit macet di pembukuan, pemerintah menghapus utang
bermasalah BCA senilai Rp 5,77 triliun dengan hak tagih dan aset jaminannya
diserahkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Tahun itu, BCA untung
Rp 174 miliar.
2002
Hadi
Poernomo naik menjadi Direktur Jenderal Pajak.
Dirjen
Pajak mengoreksi laba BCA pada 1999, bukan cuma Rp 174 miliar, tapi Rp 6,78
triliun. Salah satu yang mendongkrak angka laba, penghapusan utang bermasalah
Rp 5,77 triliun itu dianggap sebagai pemasukan bagi BCA. Karena itu, BCA mesti
membayar pajak Rp 375 miliar.
2003
BCA
menyatakan keberatan pengalihan utang bermasalah itu dimasukkan sebagai
pendapatan sehingga ada beban pajak tambahan ratusan miliar rupiah. Apalagi
hasil penjualan aset BPPN berhasil menjual senilai Rp 3,29 triliun tidak ada
yang masuk BCA.
2004
13
Maret
Direktur
Pajak Penghasilan (PPh) Direktorat Jenderal Pajak Sumihar Petrus Tambunan
mengirim surat pengantar risalah keberatan kepada Dirjen Pajak, yang dijabat
oleh Hadi Poernomo.
17
juli
Hadi
Poernomo mengirim nota dinas kepada Direktur PPh. Dalam nota itu, Hadi meminta
Sumihar mengubah kesimpulan pemeriksaan dari semula “menolak” menjadi
“menerima” permohonan keberatan pajak PT Bank BCA. Jatuh tempo pembayaran pajak
PT Bank BCA adalah sehari setelahnya, 18 Juli 2004, sehingga Sumihar tidak sempat
memberikan argumen.
21 April 2014
KPK
menetapkan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Hadi Poernomo sebagai tersangka kasus
dugaan korupsi. Hadi diduga bermain dalam urusan pajak BCA dengan menerbitkan
nota dinas untuk mengabulkan permohonan keberatan pajak Bank BCA. KPK menjerat
Hadi dengan Pasal 2 ayat 1 dan/atau Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi
dengan perkiraan kerugian negara Rp 375 miliar.
Saya
pribadi berharap KPK dapat menuntaskan kasus ini dengan berani dan tegas tanpa
pandang bulu sehingga kasus BCA serta BLBI dapat segera diselesaikan sehingga
masyarakat dan negara ini tidak terus menjadi korban para koruptor yang tidak
bertanggung jawab. Mari kita kawal terus kasus ini.
OPINI :
·
Menurut Kepala Bagian Pemberitaan dan Informasi KPK Priharsa
Nugraha dalam siaran persnya., nama empat orang itu adalah Ihya Ulumdin, Andi
Dwinanto, Azis Nur Adji P.S., dan Sahapon Hutasoit. Dalam kasus yang diduga
merugikan negara Rp 375 miliar itu, KPK telah menetapkan mantan Ketua Badan
Pemeriksa Keuangan Hadi Poernomo sebagai tersangka. Saat menjabat Direktur
Jenderal Pajak, Hadi mengabulkan permohonan keberatan pajak BCA melalui nota
dinas bernomor ND-192/PJ/2004/ pada 17 Juni 2004.
·
Ketua KPK Abraham Samad
mengungkapkan, Hadi diduga melakukan perbuatan melawan hukum dan atau
penyalahgunaan wewenang dalam kapasitas dia sebagai Direktur Jenderal Pajak
2002-2004.
Menurut
Abraham, kasus ini berawal ketika BCA mengajukan keberatan pajak atas
transaksi non performance loan (kredit bermasalah) sekitar
17 Juli 2003. Nilai transaksi bermasalah PT Bank BCA ketika itu sekitar Rp 5,7
triliun.
·
Menurut Wakil Ketua KPK,
Bambang Widjojanto, nilai kerugian negara ini adalah besaran pajak yang tidak
jadi dibayarkan BCA kepada negara. "Yang seharusnya negara menerima Rp 375
miliar tidak jadi diterima dan itu menguntungkan pihak lainnya, tidak selamanya
harus menguntungkan si pembuat kebijakan," kata Bambang.
Dari kasus pajak BCA tersebut, kami memberikan opini
diantaranya:
a) Dalam tanggung jawabnya
sebagai seorang Dirjen Pajak yang memiliki peran penting dalam bidang
perpajakan tidak seharusnya beliau membenarkan kasus pengajuan keberatan pajak
pada Bank BCA dengan cara melakukan belanja di luar kewajaran, seperti
menaikkan tunjangan dan gaji karyawan, serta menyuap oknum pejabat, sehingga
jika hal tersebut dibuka, maka bisa menyasar BLBI.
b) Dalam
kasus ini,
ada hubungannya dengan pelayanan pada publik, menghormati kepercayaan publik
dan menunjukkan komitmen atas profesionalisme. Jika kita lihat, disini pihak
bank BCA mengajukan keberatan pembayaran pajak yang seharusnya dibayarkan
dengan demikian hal ini berimbas pada kurangnya masukan kas Negara. Dan dari
tindakan Hadi Poernomo ini sudah jelas-jelas tidak menujukkan komitmen atas
profesionalitasnya serta meniadakan kepercayaan publik padanya sebagai ahli
pajak.
c) Dalam
kasus ini, terbukti bahwa terjadi penyalahgunaan jabatan dengan melakukan
kecurangan yang disengaja yaitu melakukan belanja di luar kewajaran, seperti
menaikkan tunjangan dan gaji karyawan, serta menyuap oknum pejabat. Dan juga
tidak mengedepankan prinsip objektivitas dan kehati-hatian profesional.
d) Dalam
kasus ini Hadi Poernomo
memihak kepada manajemen Bank Central Asia (BCA) dengan menerima surat keberatan pembayaran
pajak BCA. Dengan kata lain Hadi
Poermono menyalahgunakan jabatannya dengan mengambil keputusan yang tidak adil
untuk pihak pemerintah.
e) Dalam
kasus ini Hadi Poernomo tidak menunjukkan sikap konsistensi dalam
mempertanggungjawabkan profesinya sebagai Direktur Jendral Pajak. Hadi telah
melakukan kerjasama dengan manajemen BCA dengan cara menggelembungkan
biaya-biaya operasional seperti menaikkan tunjangan dan gaji karyawan, serta
menyuap oknum pejabat sehingga kasus ini merugikan pemerintah seperti
mengurangi pemasukkan kas Negara.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar