Nama : Erni Rismayana
NPM : 22211475
Mata
Kuliah : Aspek Hukum dalam Ekonomi
HUKUM PERIKATAN
Definisi Hukum Perikatan
Perikatan dalam
bahasa Belanda disebut “ver bintenis”. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai
dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti hal yang
mengikat orang yang satu terhadap orang lain. Hal yang mengikat itu menurut
kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli barang. Dapat berupa
peristiwa, misalnya lahirnya seorang bayi, meninggalnya seorang. Dapat berupa
keadaan, misalnya letak pekarangan yang berdekatan, letak rumah yang
bergandengan atau letak rumah yang besusun (rusun). Karena hal yang mengikat
itu selalu dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang – undang
atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi “akibat hukum”. Dengan demikian,
perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut
hubungan hukum.
Jika dirumuskan,
perikatan adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua
orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain
berkewajiaban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan
suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum
lain yang menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa
perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property),
juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang hukum
waris (law of succession), serta dalam bidang hukum pribadi (personal law).
Dasar Hukum Perikatan
Dasar
hukum perikatan berdasarkan KUHPerdata terdapat tiga sumber yaitu :
1.
Perikatan yang timbul
dari persetujuan
2.
Perikatan yang timbul
dari undang – undang
3.
Perikatan terjadi bukan
perjanjian
Dalam berbagai
kepustakaan hukum Indonesia memakai bermacam – macam istilah untuk
menterjemahkan verbintenis dano vereenkomst, yaitu :
-
Kitab Undang – Undang
Hukum Perdata, Subekti dan Tjiptosudibio menggunakan istilah perikatan untuk
verbintenis persetujuan untuk overeenkomst.
-
Utrecht dalam bukunya
Pengantar Dalam Hukum Indonesia memakai istilah Perutangan untuk verbintenis
dan perjanjian untuk overeenkomst.
-
Achmad Ichsan dalam
bukunya Hukum Perdata IB, menterjemahkan verbintenis dengan perjanjian dan
overeenkomst dengan persetujuan.
Berdasarkan
uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa dalam bahasa Indonesia dikenal tiga
istilah terjemahan bagi “verbintenis” yaitu : (1) Perikatan, (2) Perutangan, (3) Perjanjian
Sedangkan
untuk istilah “overeenkomst” dikenal juga istilah terjemahan dalam bahasa
Indonesia yaitu : perjanjian dan persetujuan. Untuk menemukan istilah apa yang
paling tepat untuk digunakan dalam mengartikan istilah perikatan, maka perlu
kiranya mengetahui makna terdalamnya arti istilah masing – masing. Verbintenis
berasal dari kata kerja verbinden yang artinya memikat. Jadi dalam hal ini
istilah verbintenis menunjuk kepada adanya “ikatan” atau “hubungan”. Maka hal
ini dapat dikatakan sesuai dengan definisi verbintenis sebagai suatu hubungan
hukum. Atas pertimbangan di atas maka istilah verbintenis lebih tepat diartikan
sebagai istilah perikatan. Sedangkan untuk istilah overeenkomst mengandung kata
sepakat sesuai dengan asas konsensualisme yang dianut oleh BW. Oleh karena itu
istilah terjemahannya pun harus dapat mencerminkan kata sepakat tersebut.
Berdasarkan uraian diatas maka istilah overeenkomst lebih tepat digunakan untuk
mengartikan istilah persetujuan.
Asas – Asas Dalam Hukum
Perikatan
-
Asas Kebebasan
Berkontrak : Ps. 1338 : 1 KUHPerdata.
-
Asas Konsensualisme :
1320 KUHPerdata.
-
Asas Kepribadian : 1315
dan 1340 KUHPerdata.
·
Pengecualian : 1792
KUHPerdata 1317 KUHPerdata
·
Perluasannya yaitu Ps.
1318 KUHPerdata
-
Asas Pacta
Suntservanda® asas kepastian hukum : 1338 : 1 KUHPerdata.
PERJANJIAN
Perjanjian
adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lainnya atau
dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Perikatan
merupakan suatu yang sifatnya abstrak sedangkan perjanjian adalah suatu yang
bersifat kongkrit. Dikatakan demikian karena kita tidak dapat melihat dengan pancaindra
suatu perikatan sedangkan perjanjian dapat dilihat atau dibaca suatu bentuk
perjanjian ataupun di dengar perkataannya yang berupa janji.
ASAS PERJANJIAN
Ada
7 jenis asas hukum perjanjian yang merupakan asas-asas umum yang harus
diperhatikan oleh setiap pihak yang terlibat di dalamnya.
- Asas sistem terbuka hukum perjanjian
Hukum
perjanjian yang diatur di dalam buku III KUHP merupakan hukum yang bersifat
terbuka. Artinya ketentuan-ketentuan hukum perjanjian yang termuat di dalam
buku III KUHP hanya merupakan hukum pelengkap yang bersifat melengkapi.
- Asas Konsensualitas
Asas
ini memberikan isyarat bahwa pada dasarnya setiap perjanjian yang dibuat lahir
sejak konsensus atau kesepakatan dari para pihak yang membuat perjanjian.
- Asas Personalitas
Asas
ini bisa diterjemahkan sebagai asas kepribadian yang berarti bahwa pada umumnya
setiap pihak yang membuat perjanjian tersebut untuk kepentingannya sendiri atau
dengan kata lain tidak seorang pun dapat membuat perjanjian untuk kepentingan
pihak lain.
- Asas Itikad baik
Pada
dasarnya semua perjanjian yang dibuat haruslah dengan itikad baik. Perjanjian
itikad baik mempunyai 2 arti yaitu :
-
Perjanjian yang dibuat
harus memperhatikan norma-norma kepatutan dan kesusilaan.
-
Perjanjian yang dibuat
harus didasari oleh suasana batin yang memiliki itikad baik.
- Asas Pacta Sunt Servada
Asas
ini tercantum di dalam Pasal 1338 ayat 1 KUHP yang isinya “Semua Perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang – Undang bagi mereka yag
membuatnya”.
Asas
ini sangat erat kaitannya dengan asas sistem terbukanya hukum perjanjian,
karena memiliki arti bahwa semua perjanjian yang dibuat oleh para pihak asal
memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang diatur di dalam pasal
1320 KUHP sekalipun menyimpang dari ketentuan – ketentuan Hukum Perjanjian
dalam buku III KUHP tetap mengikat sebagai Undang – Undang bagi para pihak yang
membuat perjanjian.
- Asas force majeur
Asas
ini memberikan kebebasan bagi debitur dari segala kewajibannya untuk membayar
ganti rugi akibat tidak terlaksananya perjanjian karena suatu sebab yang
memaksa.
- Asas Expetio non Adiempletie Contractus
Asas
ini merupakan suatu pembelaan bagi debitur untuk dibebaskan dari kewajiban
membayar ganti rugi akibat tidak dipenuhinya perjanjian, dengan alasan bahwa
kreditur pun telah melakukan seuatu kelalaian.
Syarat Sahnya
Perjanjian
- Syarat Subjektif
-
Keadaan kesepakatan
para pihak
-
Adanya kecakapan bagi
para pihak
- Syarat Objektif
-
Adanya objek yang jelas
-
Adanya sebab yang
dihalalkan oleh hukum
Sebelum meninjau
wanprestasi ada baiknya terlebih dahulu kita mengenal yang dimaksud dengan
prestasi. Dalam suatu perjanjian, pihak-pihak yang bertemu saling mengungkapkan
janjinya masing –masing dan mereka sepakat untuk mengikatkan diri satu sama
lain dalam Perikatan untuk melaksanakan sesuatu. Pelaksanaan sesutu itu
merupakan sebuah prestasi, yaitu yang dapat berupa:
- Menyerahkan suatu barang
(penjual menyerahkan barangnya kepada pembeli dan pembeli meyerahkan uangnya
kepada penjual).
-
Berbuat sesuatu
(karyawan melaksanakan pekerjaan dan perusahaan membayar upahnya).
- Tidak berbuat sesuatu
(karyawan tidak bekerja di tempat lain selain di perusahaan tempatnya sekarang
bekerja).
Jika
debitur tidak melaksanakan prestasi-prestasi tersebut yang merupakan
kewajibannya, maka perjanjian itu dapat dikatakan cacat – atau katakanlah
prestasi yang buruk. Wanprestasi merupakan suatu prestasi yang buruk, yaitu
para pihak tidak melaksanakan kewajibannya sesuai isi perjanjian. Wanprestasi
dapat terjadi baik karena kelalaian maupun kesengajaan. Wanprestasi seorang
debitur yang lalai terhadap janjinya dapat berupa:
-
Tidak melaksanakan apa
yang disanggupi akan dilakukannya.
-
Melaksanakan apa yang
dijanjikan, tetapi tidak sesuai dengan janjinya.
-
Melaksanakan apa yang
dijanjikannya tapi terlambat.
-
Melakukan suatu perbuatan
yang menurut perjajian tidak boleh dilakukan.
Kapan tepatnya
debitur melakukan wanprestasi?
Menjawab
pertanyaan ini gampang-gampang sulit. Gampang karena pada saat membuat
perjanjian telah ditentukan suatu waktu tertentu sebagai tanggal pelaksanaan
hak dan kewajiban (tanggal penyerahan barang dan tanggal pembayaran). Dengan
lewatnya waktu tersebut tetapi hak dan kewajiban belum dilaksanakan, maka sudah
dapat dikatakan terjadi wanprestasi.
Waktu terjadinya
wanprestasi sulit ditentukan ketika di dalam perjanjian tidak disebutkan kapan
suatu hak dan kewajiban harus sudah dilaksanakan. Bentuk prestasi yang berupa
“tidak berbuat melaksanakan suatu perbuatan yang tidak diperbolehkan itu”.
Jika dalam
perjanjian tidak disebutkan kapan suatu hak dan kewajiban harus dilaksanakan,
maka kesulitan menentukan waktu terjadinya wanprestasi akan ditemukan dalam
bentuk prestasi “menyerahkan barang” atau “melaksanakan suatu perbuatan”. Di
sini tidak jelas kapan suatu perbuatan itu harus dilaksanakan, atau suatu barang
itu harus diserahkan. Untuk keadaan semacam ini, menurut hukum perdata,
penentuan wanprestasi didasarkan pada surat peringatan dari debitur kepada kreditur
– yang biasanya dalam bentuk somasi (teguran). Dalam peringatan itu kreditur
meminta kepada debitur agar melaksanakan kewajibannya pada suatu waktu tertentu
yang telah ditentukan oleh kreditur sendiri dalam suarat peringatannya. Dengan
lewatnya jangka waktu seperti yang dimaksud dalam surat peringatan, sementara
debitur belum melaksanakan kewajibannya, maka pada saat itulah dapat dikatakan
telah terjadi wanprestasi.
Debitur yang
wanpretasi kepadanya dapat dijatuhkan sanksi, yaitu berupa membayar kerugian
yang dialami kreditur, pembatalan perjanjian, peralihan resiko, dan membayar
biaya perkara bila sampai diperkarakan secara hukum di pengadilan.
HAPUSNYA PERIKATAN
Hapusnya Perikatan
Pasal 1381 :
-
Pembayaran
-
Penawaran pembayaran
tunai, diikuti dengan penyimpangan atau penitipan
-
Pembaharuan utang
-
Perjumpaan utang atau
kopensasi
-
Percampuran utang
-
Pembebasan utang
-
Musnahnya barang yang
terutang
-
Kebatan atau pembatalan
-
Berlakunya suatu syarat
batal
-
Lewatnya waktu.
SUMBER :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar