Nama : Erni
Rismayana
NPM :
22211475
Matakuliah :
Aspek Hukum Dalam Ekonomi
Penyelesaian
Sengketa Ekonomi
Pengertian
Sengketa
Pengertian sengketa
dalam kamus Bahasa Indonesia, berarti pertentangan atau konflik, Konflik
berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok,
atau organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan. Senada dengan itu
Winardi mengemukakan :
Pertentangan atau
konflik yang terjadi antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang
mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu objek kepemilikan,
yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain.
Sedangkan menurut Ali
Achmad berpendapat :
Sengketa adalah
pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang
berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum
bagi keduanya.
Dari kedua pendapat
diatas maka dapat dikatakan bahwa sengketa adalah prilaku pertentangan antara
dua orang atau lebih yang dapat menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya
dapat diberi sangsi hukum bagi salah satu diantara keduanya
Penyelesaian
Sengketa Ekonomi
Penyelesaian sengketa
secara damai bertujuan untuk mencegah dan mengindarkan kekerasan atau
peperangan dalam suatu persengketaan antar negara. Menurut pasal 33 ayat 1
(Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan)
Piagam PBB penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui cara-cara sebagai
berikut:
1. Negosiasi
(perundingan)
Perundingan merupakan
pertukaran pandangan dan usul-usul antara dua pihak untuk menyelesaikan suatu
persengketaan, jadi tidak melibatkan pihak ketiga.
2. Enquiry
(penyelidikan)
Penyelidikan dilakukan
oleh pihak ketiga yang tidak memihak dimaksud untuk mencari fakta.
3. Good offices
(jasa-jasa baik)
Pihak ketiga dapat
menawarkan jasa-jasa baik jika pihak yang bersengketa tidak dapat menyelesaikan
secara langsung persengketaan yang terjadi diantara mereka.
Penyelesaian
perkara perdata melalui sistem peradilan:
1. Memberi kesempatan
yang tidak adil (unfair), karena lebih memberi kesempatan kepada
lembaga-lembaga besar atau orang kaya.
2. Sebaliknya secara
tidak wajar menghalangi rakyat biasa (ordinary citizens) untuk perkara di
pengadilan.
Tujuan
memperkarakan suatu sengketa:
1. adalah untuk
menyelesaikan masalah yang konkret dan memuaskan,
2. dan pemecahannya
harus cepat (quickly), wajar (fairly) dan murah (inexpensive)
Selain dari pada itu
berperkara melalui pengadilan:
1. lama dan sangat
formalistik (waste of time and formalistic),
2. biaya tinggi (very
expensive),
3. secara umum tidak tanggap
(generally unresponsive),
4. kurang memberi
kesempatan yang wajar (unfair advantage) bagi yang rakyat biasa.
Sistem Alternatif Yang
Dikembangkan
a). Sistem Mediation
Mediasi berarti
menengahi atau penyelesaian sengketa melalui penengah (mediator). Dengan
demikian sistem mediasi, mencari penyelesaian sengketa melalui mediator
(penengah). Dari pengertian di atas, mediasi merupakan salah satu alternatif
penyelesaian sengketa sebagai terobosan atas cara-cara penyelesaian tradisional
melalui litigation (berperkara di pengadilan). Pada mediasi, para pihak yang
bersengketa, datang bersama secara pribadi. Saling berhadapan antara yang satu
dengan yang lain. Para pihak berhadapan dengan mediator sebagai pihak ketiga
yang netral. Peran dan fungsi mediator, membantu para pihak mencari jalan
keluar atas penyelesaian yang mereka sengketakan. Penyelesaian yang hendak
diwujudkan dalam mediasi adalah compromise atau kompromi di antara para pihak.
Dalam mencari kompromi, mediator memperingatkan, jangan sampai salah satu pihak
cenderung untuk mencari kemenangan. Sebab kalau timbul gejala yang seperti itu,
para pihak akan terjebak pada yang dikemukakan Joe Macroni Kalau salah satu
pihak ingin mencari kemenangan, akan mendorong masing-masing pihak menempuh
jalan sendiri (I have may way and you have your way). Akibatnya akan terjadi
jalan buntu (there is no the way).
Cara dan sikap yang
seperti itu, bertentangan dengan asas mediasi:
1. bertujuan mencapai
kompromi yang maksimal,
2. pada kompromi, para
pihak sama-sama menang atau win-win,
3. oleh karena itu
tidak ada pihak yang kalah atau losing dan tidak ada yang menang mutlak.
Manfaat yang paling menonjol,
antara lain:
1. Penyelesaian cepat
terwujud (quick). Rata-rata kompromi di antara pihak sudah dapat terwujud dalam
satu minggu atau paling lama satu atau dua bulan. Proses pencapaian kompromi,
terkadang hanya memerlukan dua atau tiga kali pertemuan di antara pihak yang
bersengketa.
2. Biaya Murah
(inexpensive). Pada umumnya mediator tidak dibayar. Jika dibayarpun, tidak mahal.
Biaya administrasi juga kecil. Tidak perlu didampingi pengacara, meskipun hal
itu tidak tertutup kemungkinannya. Itu sebabnya proses mediasi dikatakan tanpa
biaya atau nominal cost.
3. Bersifat Rahasia
(confidential). Segala sesuatu yang diutarakan para pihak dalam proses
pengajuan pendapat yang mereka sampaikan kepada mediator, semuanya bersifat
tertutup. Tidak terbuka untuk umum seperti halnya dalam proses pemeriksaan
pengadilan (there is no public docket). Juga tidak ada peliputan oleh wartawan
(no press coverage).
4. Bersifat Fair dengan
Metode Kompromi. Hasil kompromi yang dicapai merupakan penyelesaian yang mereka
jalin sendiri, berdasar kepentingan masing-masing tetapi kedua belah pihak
sama-sama berpijak di atas landasan prinsip saling memberi keuntungan kepada
kedua belah pihak. Mereka tidak terikat mengikuti preseden hukum yang ada.
Tidak perlu mengikuti formalitas hukum acara yang dipergunakan pengadilan.
Metode penyelesaian bersifat pendekatan mencapai kompromi. Tidak perlu saling
menyodorkan pembuktian. Penyelesaian dilakukan secara: (a) informal, (b)
fleksibel, (c) memberi kebebasan penuh kepada para pihak mengajukan proposal
yang diinginkan.
5. Hubungan kedua belah
pihak kooperatif. Dengan mediasi, hubungan para pihak sejak awal sampai masa selanjutnya,
dibina diatas dasar hubungan kerjasama (cooperation) dalam menyelesaikan
sengketa. Sejak semula para pihak harus melemparkan jauh-jauh sifat dan sikap
permusuhan (antagonistic). Lain halnya berperkara di pengadilan. Sejak semula
para pihak berada pada dua sisi yang saling berhantam dan bermusuhan. Apabila
perkara telah selesai, dendam kesumat terus membara dalam dada mereka.
6. Hasil yang dicapai
WIN-WIN. Oleh karena penyelesaian yang diwujudkan berupa kompromi yang
disepakati para pihak, kedua belah pihak sama-sama menang. Tidak ada yang kalah
(lose) tidak ada yang menang (win), tetapi win-win for the beneficial of all.
Lain halnya penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Pasti ada yang kalah dan
menang. Yang menang merasa berada di atas angin, dan yang kalah merasa terbenam
diinjak-injak pengadilan dan pihak yang menang.
7. Tidak Emosional.
Oleh karena cara pendekatan penyelesaian diarahkan pada kerjasama untuk
mencapai kompromi, masing-masing pihak tidak perlu saling ngotot mempertahankan
fakta dan bukti yang mereka miliki. Tidak saling membela dan mempertahankan
kebenaran masing-masing. Dengan demikian proses penyelesaian tidak ditunggangi
emosi.
b). Sistem Minitrial
Sistem yang lain hampir
sama dengan mediasi ialah minitrial. Sistem ini muncul di Amerika pada tahun
1977. Jadi kalau terjadi sengketa antara dua pihak, terutama di bidang bisnis,
masing-masing pihak mengajak dan sepakat untuk saling mendengar dan menerima
persoalan yang diajukan pihak lain:
1. setelah itu baru
mereka mengadakan perundingan (negotiation),
2. sekiranya dari
masalah yang diajukan masing-masing ada hal-hal yang dapat diselesaikan, mereka
tuangkan dalam satu resolusi (resolution).
c). Sistem Concilition
Konsolidasi
(conciliation), dapat diartikan sebagai pendamai atau lembaga pendamai. Bentuk
ini sebenarnya mirip dengan apa yang diatur dalam Pasal 131 HIR. Oleh karena
itu, pada hakikatnya sistem peradilan Indonesia dapat disebut mirip dengan mix
arbitration, yang berarti:
1. pada tahap pertama
proses pemeriksaan perkara, majelis hakim bertindak sebagai conciliator atau
majelis pendamai,
2. setelah gagal
mendamaikan, baru terbuka kewenangan majelis hakim untuk memeriksa dan
mengadili perkara dengan jalan menjatuhkan putusan.
Akan tetapi, dalam
kenyataan praktek, terutama pada saat sekarang; upaya mendamaikan yang
digariskan pasal 131 HIR, hanya dianggap dan diterapkan sebagai formalitas
saja. Jarang ditemukan pada saat sekarang penyelesaian sengketa melalui
perdamaian di muka hakim.
Lain halnya di
negara-negara kawasan Amerika, Eropa, maupun di kawasan Pasific seperti Korea
Selatan, Jepang, Hongkong, Taiwan, dan Singapura. Sistem konsiliasi sangat
menonjol sebagai alternatif. Mereka cenderung mencari penyelesaian melelui
konsiliasi daripada mengajukan ke pengadilan.
Di negara-negara yang
dikemukakan di atas, lembaga konsiliasi merupakan rangkaian mata rantai dari
sistem penyelesaian sengketa dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. pertama; penyelesaian
diajukan dulu pada mediasi
2. kedua; bila mediasi
gagal, bisa dicoba mencari penyelesaian melalui minirial
3. ketiga; apabila
upaya ini gagal, disepakati untuk mencari penyelesaian melalui kosolidasi,
4. keempat; bila
konsiliasi tidak berhasil, baru diajukan ke arbitrase.
Memang, setiap
kegagalan pada satu sistem, penyelesaian sengketa dapat langsung diajukan
perkaranya ke pengadilan (ordinary court). Misalnya, mediasi gagal. Para pihak
langsung mencari penyelesaian melalui proses berperkara di pengadilan. Akan
tetapi pada saat sekarang jarang hal itu ditempuh. Mereka lebih suka mencari
penyelesaian melalui sistem alternatif, daripada langsung mengajukan ke
pengadilan. Jadi di negara-negara yang disebut di atas, benar-benar menempatkan
kedudukan dan keberadaan pengadilan sebagai the last resort, bukan lagi sebagai
the first resort.
Biasanya lembaga
konsiliasi merupakan salah satu bagian kegiatan lembaga arbitrase, arbitrase
institusional, bertindak juga sebagai conciliation yang bertindak sebagai conciliator
adalah panel yang terdaftar pada Arbitrase Institusional yang bersangkutan:
1. sengketa yang
diselesaikan oleh lembaga konsiliasi pada umumnya meliputi sengketa bisnis,
2. hasil penyelesaian
yang diambil berbentuk resolution, bukan putusan atau award (verdict),
3. oleh karena itu,
hasil penyelesaian yang berbentuk resolusi tidak dapat diminta eksekusi ke
pengadilan,
4. dengan demikian,
walaupun resolusi memeng itu bersifat binding (mengikat) kepada para pihak,
apabila salah satu pihak tidak menaati dengan sukarela tidak dapat diminta
eksekusi ke pengadilan. Dalam hal yang seperti itu penyelesaian selanjutnya
harus mengajukan gugatan ke pengadilan.
d). Sistem Adjudication
Sistem Adjudication
merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa bisnis yang baru
berkembang di beberapa negara. Sistem ini sudah mulai populer di Amerika dan
Hongkong.
Secara harafiah,
pengertian “ajuddication” adalah putusan. Dan memang demikian halnya. Para
pihak yang bersengketa sepakat meminta kepada seseorang untuk menjatuhkan
putusan atas sengketa yang timbul diantara mereka:
1. orang yang diminta
bertindak dalam adjudication disebut adjudicator
2. dan dia berperan dan
berfungsi seolah-olah sebagai HAIM (act as judge),
3. oleh karena itu, dia
diberi hak mengambil putusan (give decision).
Pada prinsipnya,
sengketa yang diselesaikan melalui sistem adjudication adalah sengketa yang
sangat khusus dan kompleks (complicated). Tidak sembarangan orang dapat
menyelesaiakan, karena untuk itu diperlukan keahlian yang khusus oleh seorang
spesialis profesional. Sengketa konstruksi misalnya. Tidak semua orang dapat
menyelesaikan. Diperlukan seorang insinyur profesional. Di Hongkong misalnya.
Sengketa mengenai pembangunan lapangan terbang ditempuh melalui lembaga
adjudication oleh seorang adjudicator yang benar-benar ahli mengenai kontruksi
lapangan terbang.
Proses penyelesaian sengketa
meleui sistem ini, sangat sederhana. Apabila timbul sengketa:
1. para pihak membuat
kesepakatan penyelesaian melaui adjudication,
2. berdasar persetujuan
ini, mereka menunjuk seorang adjudicator yang benar-benar profesional,
3. dalam kesepakatan
itu, kedua belah pihak diberi kewenangan (authority) kepada adjudicator untuk
mengabil keputusan (decision) yang mengikat kepada kedua belah pihak (binding
to each party),
4. sebelum mengambil
keputusan, adjudicator dapat meminta informasi dari kedua belah pihak, baik
secara terpisah maupun secara bersama-sama.
e). Sistem Arbitrase
Mengenai arbitrase,
sudah lama dikenal. Semula dikenal oleh Inggris dan Amerika pada tahun 1779
melaui Jay Treaty. Berdasar data ini, perkembangan arbitrase sebagai salah satu
sistem alternatif tempat penyelesaian sengketa, sudah berjalan selam adua
abad.Sekarang semua negara di dunia telah memiliki Undang-undang arbitrase.
Di Indonesia ketentuan
arbitrase diatur dalam Buku Ketiga RV. Dengan demikian, umurnya sudah terlampau
tua, karena RV dikodifikasi pada tahun 1884. Oleh karena itu, aturan yang
terdapat didalamnya sudah ketinggalan, jika dibandingkan dengan perkembangan
kebutuhan.
Memang banyak persamaan
prinsip antara arbitrase dengan sistem alternatif yang lain tadi, seperti:
1. sederhana dan cepat
(informal dan quick),
2. prinsip
konfidensial,
3. diselesaikan oleh
pihak ketiga netral yang memiliki pengetahuan khusus secara profesional.
Namun, demikian, di
balik persamaan itu terdapat perbedaan dianggap fundamental, sehingga dunia
bisnis lebih cenderung memiliki mediation, minitrial atau adjusdication.
Perbedaan yang dianggap fundamental, antara lain dapat dikemukakan hal-hal
sebagai berikut:
1. Masalah biaya,
dianggap sangat mahal (expensive). Biaya yang harus dikeluarkan penyelesaian
arbitrase, hampir sama adengan biaya litigasi di pengadilan. Terdapat beberapa
komponen biaya yang harus dikeluarkan, sehingga terkadang jauh lebih besar
biaya dengan apa yang harus dikeluarkan bila perkara diajukan ke pengadilan.
Komponen biaya atrbitrase terdiri dari: (a) Biaya administrasi (b) Honor
arbitrator. (c) Biaya transportasi dan akomodasi arbitrator (d) Biaya saksi dan
ahli. Komponen biaya yang seperti itu, tidak ada dalam mediasi atau minitrial.
Jika pun ada biaya yang harus dikeluarkan, jauh lebih kecil. Apalagi mediasi,
boleh dikatakan tanpa biaya atau nominal cost.
2. Masalah sederhana
dan cepat. Memang benar salah satu prinsip pokok penyelesaian sengketa melalui
arbitrase adalah informal procedure and can be put in motion quickly. Jadi
prinsipnya informal dan cepatI. Tetapi kenyataan yang terjadi adalah lain.
Tanpa mengurangi banyaknya sengketa yang diselesaikan arbitrase dalam jangka
waktu 60-90 hari, Namun banyak pula penyelesaian yang memakan waktu panjang.
Bahkan ada yang bertahun-tahun atau puluhan tahun. Apalagi timbul perbedaan
pendapat mengenai penunjukkan arbitrase, Rule yang disepakati atau hukum yang
hendak diterapkan (governing law), membuat proses penyelesaian bertambah rumit
dan panjang.
Kelebihan tersebut
antara lain:
1. Dijamin kerahasiaan
sengketa para pihak
2. dapat dihindari
kelambatan yang diakibatkan karena prosedural dan administratif;
3. para pihak dapat
memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman
serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan
adil;
4. para pihak dapat
menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat
penyelenggaraan arbitrase; dan
5. putusan arbitrase
merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara
(prosedur) yang sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.
Secara garis besar
dapat dikatakan bahwa penyelesaian sengketa dapat digolongkan dalam 3 (tiga)
golongan, yaitu:
1. Penyelesaian
sengketa dengan menggunakan negosiasi, baik yang bersifat langsung (negtation
simplister) maupun dengan penyertaan pihak ketiga (mediasi dan konsiliasi),
2. Penyelesaian
sengketa dengan cara litigasi, baik yang bersifat nasional maupun
internasional.
3. Penyelesaian
sengketa dengan menggunakan arbitrase, baik yang bersifat ad-hoc yang
terlembaga.
Arbitrase secara umum
dapat dilakukan dalam penyelesaian sengketa publik maupun perdata, namun dalam
perkembangannya arbitrase lebih banyak dipilih untuk menyelesaikan sengketa
kontraktual (perdata). Sengketa perdata dapat digolongkan menjadi:
1. Quality arbitration,
yang menyangkut permasalahan faktual (question of fact) yang dengan sendirinya
memerlukan para arbiter dengan kualifikasi teknis yang tinggi.
2. Technical
arbitration, yang tidak menyangkut permasalahan faktual, sebagaimana halnya
dengan masalah yang timbul dalam dokumen (construction of document) atau
aplikasi ketentuan-ketentuan kontrak.
3. Mixed arbitration,
sengketa mengenai permasalahan faktual dan hukum (question of fact and law).
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar