Rabu, 07 Maret 2012

Jangan Sampai Krisis Perbankan Terulang Lagi
 

KOMPAS/LUCKY PRANSISKA
Gubernur Bank Indonesia Boediono (kiri) bersama Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Rudjito menyampaikan keputusan pengambilalihan Bank Century oleh LPS di Gedung BI, Jakarta, Jumat (21/11).

Menjelang November 1997, industri perbankan di Tanah Air diliputi situasi ketidakpastian. Ketika itu, bank-bank dalam kondisi sulit karena tersandera ketatnya likuiditas, suku bunga tinggi, dan tumpukan kredit macet. Rumor akan ada bank yang kolaps atau dilikuidasi mulai merebak. Nasabah pun waktu itu diliputi kekhawatiran.
Pada 1 November 1997, semuanya menemukan jawaban. Pemerintah waktu itu melikuidasi 16 bank swasta nasional yang sudah menderita sakit parah.
Tak dinyana, dari sinilah krisis perbankan yang meluluhlantakkan industri perbankan nasional bermula. Dalam hitungan lima bulan saja, berturut-turut tujuh bank kembali dilikuidasi, tiga bank dibekukan, dan empat bank lainnya diambil alih.

Faktor depresiasi rupiah ketika itu membuat krisis yang terjadi di perbankan kian hebat. Masyarakat yang khawatir dananya hilang berbondong-bondong menarik uang di bank (rush) dan memindahkannya ke bank yang lebih aman. Dampaknya, sejumlah bank pun kolaps.

Pemerintah juga telat mengumumkan penjaminan penuh (blanket guarantee) terhadap simpanan masyarakat di perbankan. Langkah itu baru dilakukan setelah terjadi rush di sejumlah bank. Kepanikan nasabah yang telanjur menggunung sudah sulit diredakan.

Terbukti, setelah penjaminan penuh diumumkan, rush malah semakin hebat sehingga menyebabkan sejumlah bank swasta ternama saat itu, seperti Danamon dan BCA, kesulitan likuiditas sehingga akhirnya diambil alih Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Lalu sekarang, dalam skala, pola, dan lingkup yang berbeda, kita menghadapi kenyataan yang seolah-olah sama dengan kondisi perbankan di akhir tahun 1997.

Kejadian waktu itu seperti menapak tilas, dimulai dengan keringnya likuiditas, tingginya suku bunga, dan depresiasi rupiah. Pada bulan yang sama, November 2008, korban pun mulai jatuh.
Bank Century, yang merupakan hasil merger dari Bank CIC, Bank Danpac, dan Bank Pikko, kebetulan menjadi korban pertama. Bermula dari kegagalan dalam transaksi kliring pada tanggal 13 November 2008, kondisi likuiditas bank beraset Rp 15,23 triliun itu terus bertambah parah.
Para nasabah penyimpan banyak yang ingin menarik dananya, tetapi bank tak memiliki likuiditas. Bank sulit mendapatkan dana di pasar uang antarbank karena bank lain yang memiliki likuiditas berlebih enggan meminjamkan dananya.

Bank Century pun akhirnya memanfaatkan fasilitas pendanaan jangka pendek Bank Indonesia dengan mengagunkan aset likuid yang dimilikinya.

Dalam sepekan, tak kurang sekitar Rp 700 miliar telah digelontorkan BI untuk membantu likuiditas Bank Century. Namun, kondisi tak juga kunjung stabil. Di sisi lain, bank yang jago dalam urusan valas ini tak lagi memiliki aset-aset likuid yang dapat diagunkan.

Menjual aset yang tidak likuid jelas membutuhkan waktu, sementara menjual saham juga tidak mudah dalam kondisi seperti saat ini di mana investor asing dan domestik tengah didera krisis global.
Bank Century pun diambang kebangkrutan. Untunglah, pemerintah dan BI telah sigap mengantisipasi krisis sejak dua bulan lalu dengan menyiapkan seperangkat peraturan jika kelak ada bank yang gagal atau kolaps.
Aturan hukum, standar operasi, dan pembagian wewenang dalam menangani krisis perbankan tersebar dalam sejumlah peraturan, antara lain Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No 4 Tahun 2008 Tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK), Undang-Undang Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS), dan Peraturan Bank Indonesia No 10/31/2008 tentang fasilitas pembiayaan darurat bagi bank umum.
Dalam perpu tentang JPSK, dijelaskan bahwa mekanisme penyelamatan bank yang bersifat sistemik. Sistemik berarti suatu kondisi yang jika tidak diatasi dapat menyebabkan kegagalan bank lain sehingga menyebabkan hilangnya kepercayaan terhadap sistem keuangan dan perekonomian nasional.
Proses awal dimulai dengan upaya Bank Indonesia, selaku regulator, membantu bank yang kesulitan likuiditas kembali sehat.

Langkah yang telah ditempuh, pertama, meminta pemegang saham dan pengurus bank untuk menyelesaikan permasalahan likuiditas; antara lain dengan menjual aset likuid berupa surat-surat berharga.
Kedua, menempatkan bank dalam status pengawasan intensif. Ketiga, meminta pemegang saham bank untuk menambah modal. Keempat, meminta bank mengundang strategic investors yang dapat menyelesaikan seluruh permasalahan bank.

Kelima, menempatkan bank dalam status pengawasan khusus (special surveillance). Keenam, melakukan penyediaan fasilitas pendanaan jangka pendek.

Setelah langkah-langkah tersebut dilakukan dan tidak membuahkan hasil signifikan, barulah BI membawa permasalahan tersebut ke rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang keanggotaannya terdiri atas Menteri Keuangan sebagai ketua merangkap anggota dan Gubernur BI sebagai anggota.

KSSK selanjutnya memutuskan Bank Century bersifat sistemik sehingga harus diberikan Fasilitas Pembiayaan Darurat (FPD) oleh BI kepada bank.

Jika tidak dapat melunasi FPD dalam jangka waktu yang telah ditetapkan, bank bersangkutan dinyatakan sebagai bank gagal. Karena Bank Century bersifat sistemik, selanjutnya KSSK menyerahkan penanganannya kepada LPS.
FPD yang tidak terbayar oleh bank bisa dikonversi menjadi kepemilikan saham. LPS pun menjadi pemilik mayoritas Bank Century yang memiliki hak untuk mengganti manajemen.
Namun, LPS juga diharuskan menyertakan modal baru agar rasio kecukupan modal (CAR) Bank Century bisa kembali sama atau di atas 8 persen. LPS juga perlu menyediakan likuiditas untuk mengantisipasi penarikan dari nasabah.

Dengan melihat kondisi keuangan Bank Century, LPS diperkirakan harus menyediakan likuiditas Rp 1,5 triliun. Per 2007, aset LPS sebesar Rp 10,29 triliun, dengan modal Rp 6,95 triliun.
Pengamat perbankan, Iman Sugema, mengatakan, kasus Bank Century seharusnya menjadi lecutan pemerintah dan BI untuk tidak lagi menganggap enteng persoalan yang terjadi. BI dan pemerintah harus mengambil langkah cepat untuk mengantisipasi segala kemungkinan.
Untuk mengantisipasi menjalarnya kasus Bank Century ke perbankan lain, harus dilakukan tiga langkah. Pertama, penerapan program penjaminan penuh terhadap simpanan perbankan.
Kedua, pelonggaran likuiditas secara sungguh-sungguh, dengan penurunan suku bunga acuan (BI Rate). Ketiga, pengawasan intensif terhadap perbankan serta tindakan cepat jika terjadi sesuatu. 

Sumber :
Kompas Cetak
 http://nasional.kompas.com/read/2008/11/22/06040250/jangan.sampai.krisis.perbankan.terulang.lagi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar